Posted by : Nur'aini
Minggu, 08 Oktober 2017
Nama : Nur’aini
Kelas : C
Smester : III
Nim : 160103069
Dasar-dasar
Pendidikan Islam
A.
Hakekat Pendidikan
Islam
Pendidikan
adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar atau disengaja guna untuk
menambah pengetahuan, wawasan serta pengalaman untuk menentukan tujuan hidup
sehingga bisa memiliki pandangan yang luas untuk ke arah masa depan lebih baik
dan dengan pendidikan itu sendiri dapat menciptakan orang-orang berkualitas.
Pendidikan
Islam berarti sistem pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk
memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah
menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya, dengan kata lain pendidikan Islam
adalah suatu sistem kependidikannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang
dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi
seluruh aspek kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi.
Istilah
pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-tarbuyah,
al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari keriga istilah tersebut term yang
populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah. Sedangkan
term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan. Padalah
kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.
[1]
Kedatipun
demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga terma tersebut memiliki kesamaan
makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara
tekstual maupun kontekstual. Untuk itu, perlu dikemukakan uraian dan analisis
terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi
tersendiri dari beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam.
1.
Tarbiyah
penggunaan istilah al-Tarbiyah berasal dari kata rabb.
Walaupun kata ini memiliki arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan
makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga
kelestarian atau eksistensinya.
Dari segi
etimologis, tiga asal kata tarbiyah yakni, raba, rabiya, dan rabba, kata
tarbiyah mencakup makna yang sangat luas yakni :
1.
al-nama
yang berarti bertambah, berkembang, dan tumbuh menjadi besar sedikit demi
sedikit,
2.
aslahahu
yang berarti memperbaiki pembelajar jika proses perkembangan menyimpang dari
nilai-nilai Islam,
3.
tawalla
amrahu yang berarti mengurus perkara pembelajaran, bertanggung jawab atasnya
dan melatihnya,
4.
ra’ahu
yang berarti memelihara dan memimpin sesuai dengan potensi yang dimiliki dan
tabiyatnya
5.
al-tansyi’ah
yang berarti mendidik, mengasuh, dalam arti materi (fisiknya) dan immateri
(kalbu, akal, jiwa, dan perasaannya), yang kesemuannya merupakan aktivitas
pendidikan.
Menurut Syekh Ali,
kata rabba memiliki arti yang banyak yakni merawat, mendidik, memimpin,
mengumpulkan, menjaga, memperbaiki, mengembangkan, dan sebagainya. Daim
menyimpulkan bahwa makna tarbiyah adalah merawat dan memperhatikan pertumbuhan
anak, sehingga anak tersebut tumbuh dengan sempurna sebagaimana yang lainnya,
yaitu sebuah kesempurnaan dalam setiap dimensi dirinya, badan (kinestetik),
roh, akal, kehendak, dan lain sebagainya.
2.
Taklim
Istilah al-Ta’lim
telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan islam. Menurut para
ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan al-Tarbiyah maupun al-[2]Ta’dib.
Rasyid Ridha mengartikan al-Ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu
pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
Jalal memberikan alasan bahwa proses taklim lebih umum dibandingkan dengan
proses tarbiyah:
Pertama, ketika mengajarkan membaca
Al-Qur’an kepada kaum muslimin, Rasulullah SAW tidak terbatas pada membuat
mereka sekedar dapat membaca, melainkan membaca dengan perenungan yang
berisikan pemahaman, pengertian, tanggung jawab, penanaman amanah sehingga
terjadi pembersihan diri (tazkiyah al-nufus) dari segala kotoran, menjadikan
dirinya dalam kondisi siap menerima hikmah, dan mempelajari segala sesuatu yang
belum diketahuinya dan yang tidak diketahuinya serta berguna bagi dirinya
Kedua, kata taklim tidak berhenti
hanya kepada pencapaian pengetahuan berdasarkan prasangka atau yang lahir dari
taklid semata-mata, ataupun pengetahuan yang lahir dari dongengan hayalan dan
syahwat atau cerita-cerita dusta.
Ketiga, kata taklim mencakup
aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam
hidupnya serta pedoman perilaku yang baik.
Dengan demikian kata
taklim menurut Jalal mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dan
berlangsung sepanjang hayat serta tidak terbatas pada masa bayi dan
kanak-kanak, tetapi juga orang dewasa. Sementara itu Abrasyi, menjelaskan kata
taklim hanya merupakan bagian dari tarbiyah karena hanya menyangkut domain
kognitif. Al-Attas menganggap kata taklim lebih dekat kepada pengajaran atau
pengalihan ilmu dari guru kepada pembelajaran, bahkan jangkauan aspek kognitif
tidak memberikan porsi pengenalan secara mendasar.
Makna al-ta’dib
berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke
dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala
sesuatu di dalam tatanan penciptaan.
Menetapkan al-Qur’an
dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai
kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran
yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan
dibolehkan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.[3]
Secara Terminologis, Tujuan adalah arah, haluan,
jurusan, maksud. Atau tujuan adalah sasaran yang akan dicapai oleh
seseorang atau sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan. Atau menurut
Zakiah Darajat, tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu
usaha atau kegiatan selesai. Karena itu tujuan pendidikan Islam adalah
sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang
melaksanakan pendidikan Islam.
Secara Epistemologis, Merumuskan tujuan
pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri
yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu
serta dengan pertimbangan prinsip-prinsip dasarnya. Hujair AH. Sanaky menyebut
istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan misi pendidikan Islam.
Menurutnya, sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi dan misi yang ideal,
yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Munzir Hitami berpendapat bahwa
tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup manusia, biarpun dipengaruhi
oleh berbagai budaya, pandangan hidup, atau keinginan-keinginan lainnya.
Secara Ontologis : Dalam
Islam, hakikat manusia adalah makhluq ciptaan Allah. Sedangkan menurut tujuan
umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi
menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan
kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Tujuan pendidikan
adalah menciptakan seseorang yang berkualitas dan berkarakter sehingga memiliki
pandangan yang luas kedepan untuk mencapai suatu cita- cita yang di harapkan
dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam berbagai lingkungan.
Karena pendidikan itu sendiri memotivasi diri kita untuk lebih baik dalam
segala aspek kehidupan. Karena tanpa pendidikan itu sendiri kita akan terjajah
oleh adanya kemajuan saat ini, karena semakin lama semakin ketat pula
persaingan dan semakin lama juga mutu pendidikan akan semakin maju.
Tujuan pendidikan
Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia. Secara
menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri
manusia yang rasional, perasaan dan indra, karena itu, pendidikan hendaknya
mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual,
intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individual maupun
kolektif, dan mendorong semua aspek[4]
tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir
pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada
Allah SWT, baik secara pribadi kontinuitas, maupun seluruh umat manusia.
Tujuan pendidikan
ialah perubahan yang diharapkan pada subyek didik setelahmengalami proses
pendidikan baik pada tingkah laku individu dan
Pendidikan Islam
bertugas di samping menginternalisasikan (menanamkan dalam pribadi) nilai-nilai
islami, juga mengembangkan anak didik agar mampu melakukan pengamalan
nilai-nilai itu secara dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi
idealitas wahyu Tuhan. Hal ini berarti Pendidikan Islam secara optimal harus
mampu mendidik anak didik agar memiliki “kedewasaan atau kematangan” dalam
beriman, bertaqwa, dan mengamalkan hasil pendidikan yang diperoleh, sehingga
menjadi pemikir yang sekaligus pengamal ajaran Islam, yang dialogis terhadap
perkembangan kemajuan zaman. Dengan kata lain, Pendidikan Islam harus mampu
menciptakan para “mujtahid” baru dalam bidang kehidupan duniawi-ukhrawi yang
berkesinambungan secara interaktif tanpa pengkotakan antara kedua bidang itu. Menurut
H.M.Arifin tujuan pendidikan islam adalah idealitas (cita-cita) yang mengandung
nilai-nilai islam yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang
berdasarkanajaran Islam secara bertahap.
Prof. H. M. Arifin, M. Ed menjabarkan tujuan pendidikan yang bersasaran
pada tiga dimensi hubungan manusia selaku “Khalifah” dimuka bumi yaitu sebagai
berikut:
1. Menanamkan
sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan Tuhannya.
2. Membentuk
sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan masyarakatnya.
3. Mengembangkan
kemampuannya untuk menggali, mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam ciptaan
Allah bagi kepentingan kesejahteraan hidupnya, dan hidup sesamanya serta bagi
kepentingan ubudiahnya kepadanya, dengan dilandasi sikap hubungan yang
harmonis.
Tujuan pendidikan menurut Dra. Hj. Nur Uhbiyati dan Dr. Zakiyah Daradjat
ada empat macam, yaitu: [5]
a.
Tujuan Umum
Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan
pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara yang lainnya. Tujuan ini
meliputi seluruh aspek kemanusiaan, seperti: sikap, tingkah laku, penampilan,
kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum ini berbeda pada tingkat umur, kecerdasan,
situasi dan kondisi, dengan kerangka yang sama. Bentuk Insan Kamil dengan
polatakwa kepada Allah swt harus dapat tergambar dalam pribadi seseorang yang
sudah terdidik, walaupun dalam ukuran kecil dan mutu yang rendah.
b. Tujuan
Akhir
Pendidikan Islam ini berlangsung selama hidup, maka tujuan akhirnya
terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir. Tujuan umum yang
berbentuk Insan Kamil dengan pola takwa dapat mengalami perubahan naik turun,
bertambah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang. Perasaan, lingkungan,
dan pengalaman dapat mempengaruhinya. Karena itulah pendidikan Islam itu
berlaku selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara dan
mempertahankan tujuan pendidikan yang telah dicapai.
Tujuan pendidikan adalah pengembangan akal dan akhlak yang dalam akhirnya
dipakai untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. Manusia mempunyai aspek
rohani seperti yang dijelaskan dalam surat al Hijr ayat 29 : “Maka Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan ke
dalamnya roh-Ku, maka sujudlah kalian kepada-Nya”. Dan tujuan
akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dari firman Allah SWT yang artinya :
”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah
dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan
muslim berserah diri kepada Allah.” (Q.S. Ali Imran: 102).
Jadi insan kamil yang mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah
inilah merupakan tujuan akhir dari pendidikan Islam.
c.
Tujuan Sementara
Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi
sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan
formal. Pada tujuan sementara bentuk Insan Kamil dengan pola takwa sudah
kelihatan meskipun dalam ukuran sederhana, sekurang-kurangnya beberapa ciri
pokok sudah kelihatan pada pribadi anak didik.[6]
d. Tujuan
Operasional
Tujuan operasional ialah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah
kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan
yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu. Dalam
tujuan operasional ini lebih banyak dituntut dari anak didik suatu kemampuan
dan keterampilan tertentu. Sifat operasionalnya lebih ditonjolkan dari sifat
penghayatan dan kepribadian.
Bila dilihat dari
segi filosofis, maka tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua
macam, yaitu:
1. Tujuan teoritis yang bersasaran
pada pemberian kemampuan teoritis kepada anak didik.
2. Tujuan praktis yang mempunyai
sasaran pada pemberian
Oleh karena itu,
tujuan akhir pendidikan Islam berada di dalam garis yang sama dengan misi
tersebut, yaitu membentuk kemampuan dan bakat manusia agar mampu menciptakan
kesejahteraan dan kebahagiaan yang penuh rahmat dan berkat Allah di seluruh
penjuru alam ini. Hal ini berarti bahwa potensi rahmat dan berkat Allah
tersebut tidak akan terwujut nyata, bilamana tidak diaktualisasikan melalui
ikhtiar yang bersifat kependidikan secara terarah dan tepat.
Jika pendidikan umum
hanya ingin mencapai kehidupan duniawi yang sejahtera baik dalam dimensi
bernegara maupun bermasyarakat maka Pendidikan Islam bercita-cita lebih jauh
yang bernilai transendental, bukan insindetal atau aksidental di dunia, yaitu
kebahagiaan hidup setelah mati. Jadi nilai-nilai yang hendak diwujudkan oleh
pendidikan Islam adalah berdimensi transendetal (melampaui wawsan hidup
duniawi) sampai ke ukhrawi dengan meletakkan cita-cita yang mengandung dimensi
nilai duniawi sebagai sarananya. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana
atau alat untuk merealisasikan tujuan hidup orang muslim secara universal maka
tujuan pendidikan Islam di seluruh dunia harus sama bagi semua umat Islam, yang
berbeda hanyalah sistem dan metodenya.[7]
Fungsi
Pendidikan Islam
Fungsi
pendidikan islam secara mikro sudah jelas yaitu memelihara dan mengembangkan
fitrah dan sumber daya insan yang ada pada subyek didik menuju terbentuknya
manusia seutuhnya sesuai dengan norma islam. Atau dengan istilah lazim
digunakan yaitu menuju kepribadian muslim. Lebih lanjut secara makro, fungsi
pendidikan islam dapat ditinjau dari feomena yang muncul dalam perkambangan
peradaban manusia, dengan asumsi bahwa peradaban manusia senantiasa tumbuh
dan berkembang melalui pendidikan.
B.
URGENSI
PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN FITRAH MANUSIA.
Pada dasarnya, setiap manusia
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Hal ini berarti, manusia dilahirkan dalam
keadaan sama-sama lemah meskipun menyimpan potensi besar. Namun bukan berarti
manusia, ketika dilahirkan, bagaikan kertas putih atau kosong seperti yang
dikatakan John Lock atau tak berdaya seperti pandangan Jabariyah. Hal ini
karena manusia memiliki potensi yang berupa kecenderungan-kecenderungan
tertentu yang menyangkut daya nalar, mental, maupun psikisnya yang berbeda-beda
jenis dan tingkatannya. Pemahaman para ahli pendidikan Islam terhadap hakikat
fitrah membawa implikasi lahirnya teori fitrah dalam pendidikan. Dalam konteks
pendidikan, teori tersebut menjadi pijakan dalam mengembangan fitrah manusia.
Dalam hal ini, proses pendidikan menjadi penting untuk ditingkatkan kualitasnya
karena ia merupakan salah satu sarana yang dapat menumbuhkankembangkan
potensi-potensi yang ada dalam diri manusia sesuai dengan fitrah penciptaannya.
Makalah ini membahas tinjauan filosofis fitrah manusia tersebut dalam konteks
pendidikan Islam.[8]
Kata
Kunci: fitrah, fatalis-pasif,
netral-pasif, positif-aktif, dualis-aktif, pendidikan Islam.
Al-Qur
’an menjelaskan kepribadian manusia dan ciri-ciri umum yang membedakannya
dengan makhluk lain. Al-Qur’an juga menyebutkan sebagian pola dan model umum
kepribadian yang banyak terdapat pada semua masyarakat.
1.
Allah
berfirman dalam
al-Qur’an surat an-Nahl ayat 78:
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan
dan daya nalar agar kamu bersyukur”.
Hal ini diperjelas
oleh sebuha hadits Nabi saw:
“Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia
Yahudi, Nasrani, atau Majusi.[9]
Sebagaimana
binatang ternak menghasilkan binatang ternak yang lain apakah kamu lihat ada
kelahiran anak yang rompang hidup?”
Hadits
di atas memberikan suatu gambaran bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan
fitrah. Hal ini berarti, secara fisik, manusia dilahirkan dalam keadaan
sama-sama lemah, namun bukan berarti ia bagaikan kertas putih atau kosong
seperti yang dikatakan John Lock4.
atau tak
berdaya seperti pandangannya jabariyah, karena ia memiliki potensi yang berupa
kecenderungan-kecenderungan tertentu yang menyangkut daya nalar, mental, maupun
psikisnya yang berbeda-beda jenis dan tingkatannya. Hal ini bersesuaian dengan
hadits lain yang menyebutkan bahwa setiap anak dilahirkan.
Hakikat Fitrah Manusia
Bila kita
lihat pada beberapa ayat al-Qur’an, hadits, keterangan para ulama maupun para
mufassir, hampir semuanya menguatkan pendapat yang menyatakan adanya fitrah
yang telah dibawa manusia sejak lahir. Eksistensi fitrah ini akan terus
mengalami perkembangan hingga dewasa. Sehingga, jika ada orang yang berbuat
keburukan, bisa dikatakan ia telah melenceng dari fitrahnya, mengingkari
fitrahnya. Hal ini terjadi karena berbagai sebab, yang di antaranya bisa
dijumpai di berbagai ayat al-Qur’an. Al-Qur’an lantas memberikan solusi cara
menyelamatkan dan mengembangkan fitrah tersebut, agar manusia menjadi manusia
yang seutuhnya. Namun demikian, selain potensi beragama, manusia juga memiliki
potensi-potensi lain yang sangat beragam dan berbeda-beda tingkatannya. Ia juga
mempengaruhi perkembangan fisik, psikis, dan fitrah keagamaannya. [10],
Namun demikian, potensi yang dimiliki
setiap manusia itu tak sepenuhnya berkembang secara optimal. Para ahli
psikologi telah memperkirakan bahwa manusia hanya menggunakan sepuluh persen
dari kemampuan yang dimilikinya sejak lahir. Oleh karena itu tugas utama orang
tua dan para pelaku pendidikan adalah untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki
setiap anak agar mampu berkembang secara optimal melalui sebuah proses
pembelajaran yang efektif. Proses Pembelajaran yang efektif adalah proses
penyampaian materi pelajaran kepada siswa di mana siswa mampu menerima dan
memahami materi yang disampaikan oleh guru, proses pembelajaran bertujuan untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh siswa secara optimal yang memungkinkan
siswa dapat mencapai tujuan belajar yang diinginkan.
Berdasarkan fitrahnya, setiap manusia yang
dilahirkan di dunia ini, akan mampu berkembang menuju pada keadaan yang lebih
baik, tanpa memandang lingkungan individu maupun sosialnya. Karena pada
hakikatnya, setiap manusia bercita-cita untuk mencapai kesempurnaan diri sesuai
dengan sifat kelembutan dan kecerdasan intelektualnya. Intelektual dan jiwa
manusia memungkinkan tercapainya sebuah kedalaman, kekuatan, dan kecepatan
gerak menuju kesempurnaan. Akan tetapi, perkembangan fisik manusia terkadang
berjalan di luar kehendaknya, sedangkan perkembangan spiritualnya berkembang
secara disengaja atau dengan kesadaran penuhnya.
Kesempurnaan
manusia tidak tergantung pada masalah fisik saja, tetapi kesempurnaan sejati
manusia ada pada kebebasan dirinya dari hawa nafsu dan ketergantungan pada
kelezatan duniawi, dan pada pencapaian sisi kemanusiaan dengan memperbaiki
sensitivitasnya, berdirisiplin, dan berkomitmen dengan sebuah cita-cita tinggi
dan cakrawala yang luas.
Berbicara
mengenai potensi manusia yang melekat sejak awal proses penciptaannya dalam
al-Qur’an, sering disebutkan dalam beberapa ayat dengan istilah Qalb, Fuad,
Hawa, Nafs, Ruh, dan ‘Aql. Sementara itu, teori tentang fitrah berkali-kali
disebutkan dengan lafadh musytarak yang mempunyai konotasi bermacam-macam.
Yakni berasal dari kata fathara, yang
dalam kajian lughah dapat berubah
berbagai bentuk seperti fathir, fithrah, yang mempunyai arti “pencipta” atau
“menciptakan.” Kemudian kata futhûr bermakna “belahan atau rusak”. Dan kata
munfathir berarti“sesuatu yang terbelah.”[11]
[1]
Abuddin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam (Edisi Baru), Jakarta: GAYA MEDIA PRATAMA, 2005
[2]
Ibid .hlm.34
[3]
Ibid. hlm. 34-35
[4]
Ibid.hlm 35
[5]
Hamdani
Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam,
cetakan III (Bandung: CV.Pustaka
Setia, 2007), hlm. 68
[6]
Ibid. hlm. 68
[7]
Ibid. hlm. 69
[8]
Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm. 76.
[9]Abdul
Hamid Mursi, Pendekatan Al-Qur’an dan
Sains, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm.56
[10]
Harun Nasutioan, Islam Rasional,
(Jakarta: LSAF, 1989), hlm. 37.
[11]
A.M. Sardiman, Interaksi dan Motivasi
Belajar, (Jakarta; Rajawali Press, 1996),hlm 42.