Posted by : Nur'aini Minggu, 08 Oktober 2017



Nama               : Nur’aini
Kelas               : C
Smester            : III
Nim                  : 160103069

Dasar-dasar Pendidikan Islam
A.    Hakekat Pendidikan Islam
Pendidikan adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar atau disengaja guna untuk menambah pengetahuan, wawasan serta pengalaman untuk menentukan tujuan hidup sehingga bisa memiliki pandangan yang luas untuk ke arah masa depan lebih baik dan dengan pendidikan itu sendiri dapat menciptakan orang-orang berkualitas.
Pendidikan Islam berarti sistem pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya, dengan kata lain pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi.
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-tarbuyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari keriga istilah tersebut term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah. Sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan. Padalah kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam. [1]
Kedatipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga terma tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu, perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri dari beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam.
1.       Tarbiyah
penggunaan  istilah al-Tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.
Dari segi etimologis, tiga asal kata tarbiyah yakni, raba, rabiya, dan rabba, kata tarbiyah mencakup makna yang sangat luas yakni :
1.                 al-nama yang berarti bertambah, berkembang, dan tumbuh menjadi besar sedikit demi sedikit,
2.                 aslahahu yang berarti memperbaiki pembelajar jika proses perkembangan menyimpang dari nilai-nilai Islam,
3.                 tawalla amrahu yang berarti mengurus perkara pembelajaran, bertanggung jawab atasnya dan melatihnya,
4.                 ra’ahu yang berarti memelihara dan memimpin sesuai dengan potensi yang dimiliki dan tabiyatnya
5.                  al-tansyi’ah yang berarti mendidik, mengasuh, dalam arti materi (fisiknya) dan immateri (kalbu, akal, jiwa, dan perasaannya), yang kesemuannya merupakan aktivitas pendidikan.
Menurut Syekh Ali, kata rabba memiliki arti yang banyak yakni merawat, mendidik, memimpin, mengumpulkan, menjaga, memperbaiki, mengembangkan, dan sebagainya. Daim menyimpulkan bahwa makna tarbiyah adalah merawat dan memperhatikan pertumbuhan anak, sehingga anak tersebut tumbuh dengan sempurna sebagaimana yang lainnya, yaitu sebuah kesempurnaan dalam setiap dimensi dirinya, badan (kinestetik), roh, akal, kehendak, dan lain sebagainya.
2.       Taklim
Istilah al-Ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan al-Tarbiyah maupun al-[2]Ta’dib. Rasyid Ridha mengartikan al-Ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Jalal memberikan alasan bahwa proses taklim lebih umum dibandingkan dengan proses tarbiyah:  
Pertama, ketika mengajarkan membaca Al-Qur’an kepada kaum muslimin, Rasulullah SAW tidak terbatas pada membuat mereka sekedar dapat membaca, melainkan membaca dengan perenungan yang berisikan pemahaman, pengertian, tanggung jawab, penanaman amanah sehingga terjadi pembersihan diri (tazkiyah al-nufus) dari segala kotoran, menjadikan dirinya dalam kondisi siap menerima hikmah, dan mempelajari segala sesuatu yang belum diketahuinya dan yang tidak diketahuinya serta berguna bagi dirinya
Kedua, kata taklim tidak berhenti hanya kepada pencapaian pengetahuan berdasarkan prasangka atau yang lahir dari taklid semata-mata, ataupun pengetahuan yang lahir dari dongengan hayalan dan syahwat atau cerita-cerita dusta.
Ketiga, kata taklim mencakup aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik.
Dengan demikian kata taklim menurut Jalal mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dan berlangsung sepanjang hayat serta tidak terbatas pada masa bayi dan kanak-kanak, tetapi juga orang dewasa. Sementara itu Abrasyi, menjelaskan kata taklim hanya merupakan bagian dari tarbiyah karena hanya menyangkut domain kognitif. Al-Attas menganggap kata taklim lebih dekat kepada pengajaran atau pengalihan ilmu dari guru kepada pembelajaran, bahkan jangkauan aspek kognitif tidak memberikan porsi pengenalan secara mendasar.
Makna al-ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan.
Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.[3]
Secara Terminologis, Tujuan adalah arah, haluan, jurusan, maksud. Atau tujuan  adalah sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan. Atau menurut Zakiah Darajat, tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Karena itu tujuan pendidikan Islam adalah sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan pendidikan Islam.
Secara Epistemologis, Merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip-prinsip dasarnya. Hujair AH. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan misi pendidikan Islam. Menurutnya, sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi dan misi yang ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Munzir Hitami berpendapat bahwa tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup manusia, biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan hidup, atau keinginan-keinginan lainnya.
Secara Ontologis : Dalam Islam, hakikat manusia adalah makhluq ciptaan Allah. Sedangkan menurut tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Tujuan pendidikan adalah menciptakan seseorang yang berkualitas dan berkarakter sehingga memiliki pandangan yang luas kedepan untuk mencapai suatu cita- cita yang di harapkan dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam berbagai lingkungan. Karena pendidikan itu sendiri memotivasi diri kita untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan. Karena tanpa pendidikan itu sendiri kita akan terjajah oleh adanya kemajuan saat ini, karena semakin lama semakin ketat pula persaingan dan semakin lama juga mutu pendidikan akan semakin maju.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia. Secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional, perasaan dan indra, karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong semua aspek[4] tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT, baik secara pribadi kontinuitas, maupun seluruh umat manusia.
Tujuan pendidikan ialah perubahan yang diharapkan pada subyek didik setelahmengalami proses pendidikan baik pada tingkah laku individu dan
Pendidikan Islam bertugas di samping menginternalisasikan (menanamkan dalam pribadi) nilai-nilai islami, juga mengembangkan anak didik agar mampu melakukan pengamalan nilai-nilai itu secara dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi idealitas wahyu Tuhan. Hal ini berarti Pendidikan Islam secara optimal harus mampu mendidik anak didik agar memiliki “kedewasaan atau kematangan” dalam beriman, bertaqwa, dan mengamalkan hasil pendidikan yang diperoleh, sehingga menjadi pemikir yang sekaligus pengamal ajaran Islam, yang dialogis terhadap perkembangan kemajuan zaman. Dengan kata lain, Pendidikan Islam harus mampu menciptakan para “mujtahid” baru dalam bidang kehidupan duniawi-ukhrawi yang berkesinambungan secara interaktif tanpa pengkotakan antara kedua bidang itu. Menurut H.M.Arifin tujuan pendidikan islam adalah idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai islam yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkanajaran Islam secara bertahap. Prof. H. M. Arifin, M. Ed menjabarkan tujuan pendidikan yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku “Khalifah” dimuka bumi yaitu sebagai berikut:
1.       Menanamkan sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan Tuhannya.
2.       Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan masyarakatnya.
3.       Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan hidupnya, dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan ubudiahnya kepadanya, dengan dilandasi sikap hubungan yang harmonis.
Tujuan pendidikan menurut Dra. Hj. Nur Uhbiyati dan Dr. Zakiyah Daradjat ada empat macam, yaitu: [5]
a.        Tujuan Umum
Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara yang lainnya. Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan, seperti: sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum ini berbeda pada tingkat umur, kecerdasan, situasi dan kondisi, dengan kerangka yang sama. Bentuk Insan Kamil dengan polatakwa kepada Allah swt harus dapat tergambar dalam pribadi seseorang yang sudah terdidik, walaupun dalam ukuran kecil dan mutu yang rendah.
b.       Tujuan Akhir
Pendidikan Islam ini berlangsung selama hidup, maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir. Tujuan umum yang berbentuk Insan Kamil dengan pola takwa dapat mengalami perubahan naik turun, bertambah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang. Perasaan, lingkungan, dan pengalaman dapat mempengaruhinya. Karena itulah pendidikan Islam itu berlaku selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, memelihara dan mempertahankan tujuan pendidikan yang telah dicapai.
Tujuan pendidikan adalah pengembangan akal dan akhlak yang dalam akhirnya dipakai untuk menghambakan diri kepada Allah SWT. Manusia mempunyai aspek rohani seperti yang dijelaskan dalam surat al Hijr ayat 29 : “Maka Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan ke dalamnya roh-Ku, maka sujudlah kalian kepada-Nya”. Dan tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dari firman Allah SWT yang artinya : ”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim berserah diri kepada Allah.” (Q.S. Ali Imran: 102). Jadi insan kamil yang mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah inilah merupakan tujuan  akhir dari pendidikan Islam.
c.        Tujuan Sementara
Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Pada tujuan sementara bentuk Insan Kamil dengan pola takwa sudah kelihatan meskipun dalam ukuran sederhana, sekurang-kurangnya beberapa ciri pokok sudah kelihatan pada pribadi anak didik.[6]

d.       Tujuan Operasional
Tujuan operasional ialah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu. Dalam tujuan operasional ini lebih banyak dituntut dari anak didik suatu kemampuan dan keterampilan tertentu. Sifat operasionalnya lebih ditonjolkan dari sifat penghayatan dan kepribadian.
Bila dilihat dari segi filosofis, maka tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu:
1.       Tujuan teoritis yang bersasaran pada pemberian kemampuan teoritis kepada anak didik.
2.       Tujuan praktis yang mempunyai sasaran pada pemberian
Oleh karena itu, tujuan akhir pendidikan Islam berada di dalam garis yang sama dengan misi tersebut, yaitu membentuk kemampuan dan bakat manusia agar mampu menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan yang penuh rahmat dan berkat Allah di seluruh penjuru alam ini. Hal ini berarti bahwa potensi rahmat dan berkat Allah tersebut tidak akan terwujut nyata, bilamana tidak diaktualisasikan melalui ikhtiar yang bersifat kependidikan secara terarah dan tepat.
Jika pendidikan umum hanya ingin mencapai kehidupan duniawi yang sejahtera baik dalam dimensi bernegara maupun bermasyarakat maka Pendidikan Islam bercita-cita lebih jauh yang bernilai transendental, bukan insindetal atau aksidental di dunia, yaitu kebahagiaan hidup setelah mati. Jadi nilai-nilai yang hendak diwujudkan oleh pendidikan Islam adalah berdimensi transendetal (melampaui wawsan hidup duniawi) sampai ke ukhrawi dengan meletakkan cita-cita yang mengandung dimensi nilai duniawi sebagai sarananya. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana atau alat untuk merealisasikan tujuan hidup orang muslim secara universal maka tujuan pendidikan Islam di seluruh dunia harus sama bagi semua umat Islam, yang berbeda hanyalah sistem dan metodenya.[7]
Fungsi Pendidikan Islam
Fungsi pendidikan islam secara mikro sudah jelas yaitu memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumber daya insan yang ada pada subyek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma islam. Atau dengan istilah lazim digunakan yaitu menuju kepribadian muslim. Lebih lanjut secara makro, fungsi pendidikan islam dapat ditinjau dari feomena yang muncul dalam perkambangan peradaban manusia, dengan asumsi bahwa peradaban manusia senantiasa tumbuh dan berkembang melalui pendidikan.
B.     URGENSI PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN FITRAH MANUSIA.
Pada dasarnya, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Hal ini berarti, manusia dilahirkan dalam keadaan sama-sama lemah meskipun menyimpan potensi besar. Namun bukan berarti manusia, ketika dilahirkan, bagaikan kertas putih atau kosong seperti yang dikatakan John Lock atau tak berdaya seperti pandangan Jabariyah. Hal ini karena manusia memiliki potensi yang berupa kecenderungan-kecenderungan tertentu yang menyangkut daya nalar, mental, maupun psikisnya yang berbeda-beda jenis dan tingkatannya. Pemahaman para ahli pendidikan Islam terhadap hakikat fitrah membawa implikasi lahirnya teori fitrah dalam pendidikan. Dalam konteks pendidikan, teori tersebut menjadi pijakan dalam mengembangan fitrah manusia. Dalam hal ini, proses pendidikan menjadi penting untuk ditingkatkan kualitasnya karena ia merupakan salah satu sarana yang dapat menumbuhkankembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri manusia sesuai dengan fitrah penciptaannya. Makalah ini membahas tinjauan filosofis fitrah manusia tersebut dalam konteks pendidikan Islam.[8]
Kata Kunci:  fitrah, fatalis-pasif, netral-pasif, positif-aktif, dualis-aktif, pendidikan Islam.
Al-Qur ’an menjelaskan kepribadian manusia dan ciri-ciri umum yang membedakannya dengan makhluk lain. Al-Qur’an juga menyebutkan sebagian pola dan model umum kepribadian yang banyak terdapat pada semua masyarakat.
1.       Allah berfirman dalam
al-Qur’an surat an-Nahl ayat 78:

Artinya:  “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan daya nalar agar kamu bersyukur”.

Hal ini diperjelas oleh sebuha hadits Nabi saw:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.[9]
Sebagaimana binatang ternak menghasilkan binatang ternak yang lain apakah kamu lihat ada kelahiran anak yang rompang hidup?”
Hadits di atas memberikan suatu gambaran bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Hal ini berarti, secara fisik, manusia dilahirkan dalam keadaan sama-sama lemah, namun bukan berarti ia bagaikan kertas putih atau kosong seperti yang dikatakan John Lock4.
atau tak berdaya seperti pandangannya jabariyah, karena ia memiliki potensi yang berupa kecenderungan-kecenderungan tertentu yang menyangkut daya nalar, mental, maupun psikisnya yang berbeda-beda jenis dan tingkatannya. Hal ini bersesuaian dengan hadits lain yang menyebutkan bahwa setiap anak dilahirkan.
Hakikat  Fitrah Manusia
Bila kita lihat pada beberapa ayat al-Qur’an, hadits, keterangan para ulama maupun para mufassir, hampir semuanya menguatkan pendapat yang menyatakan adanya fitrah yang telah dibawa manusia sejak lahir. Eksistensi fitrah ini akan terus mengalami perkembangan hingga dewasa. Sehingga, jika ada orang yang berbuat keburukan, bisa dikatakan ia telah melenceng dari fitrahnya, mengingkari fitrahnya. Hal ini terjadi karena berbagai sebab, yang di antaranya bisa dijumpai di berbagai ayat al-Qur’an. Al-Qur’an lantas memberikan solusi cara menyelamatkan dan mengembangkan fitrah tersebut, agar manusia menjadi manusia yang seutuhnya. Namun demikian, selain potensi beragama, manusia juga memiliki potensi-potensi lain yang sangat beragam dan berbeda-beda tingkatannya. Ia juga mempengaruhi perkembangan fisik, psikis, dan fitrah keagamaannya. [10],
      Namun demikian, potensi yang dimiliki setiap manusia itu tak sepenuhnya berkembang secara optimal. Para ahli psikologi telah memperkirakan bahwa manusia hanya menggunakan sepuluh persen dari kemampuan yang dimilikinya sejak lahir. Oleh karena itu tugas utama orang tua dan para pelaku pendidikan adalah untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki setiap anak agar mampu berkembang secara optimal melalui sebuah proses pembelajaran yang efektif. Proses Pembelajaran yang efektif adalah proses penyampaian materi pelajaran kepada siswa di mana siswa mampu menerima dan memahami materi yang disampaikan oleh guru, proses pembelajaran bertujuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh siswa secara optimal yang memungkinkan siswa dapat mencapai tujuan belajar yang diinginkan.
 Berdasarkan fitrahnya, setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini, akan mampu berkembang menuju pada keadaan yang lebih baik, tanpa memandang lingkungan individu maupun sosialnya. Karena pada hakikatnya, setiap manusia bercita-cita untuk mencapai kesempurnaan diri sesuai dengan sifat kelembutan dan kecerdasan intelektualnya. Intelektual dan jiwa manusia memungkinkan tercapainya sebuah kedalaman, kekuatan, dan kecepatan gerak menuju kesempurnaan. Akan tetapi, perkembangan fisik manusia terkadang berjalan di luar kehendaknya, sedangkan perkembangan spiritualnya berkembang secara disengaja atau dengan kesadaran penuhnya.
Kesempurnaan manusia tidak tergantung pada masalah fisik saja, tetapi kesempurnaan sejati manusia ada pada kebebasan dirinya dari hawa nafsu dan ketergantungan pada kelezatan duniawi, dan pada pencapaian sisi kemanusiaan dengan memperbaiki sensitivitasnya, berdirisiplin, dan berkomitmen dengan sebuah cita-cita tinggi dan cakrawala yang luas.
Berbicara mengenai potensi manusia yang melekat sejak awal proses penciptaannya dalam al-Qur’an, sering disebutkan dalam beberapa ayat dengan istilah Qalb, Fuad, Hawa, Nafs, Ruh, dan ‘Aql. Sementara itu, teori tentang fitrah berkali-kali disebutkan dengan lafadh musytarak yang mempunyai konotasi bermacam-macam. Yakni berasal dari kata  fathara, yang dalam kajian  lughah dapat berubah berbagai bentuk seperti  fathir,  fithrah, yang mempunyai arti “pencipta” atau “menciptakan.” Kemudian kata futhûr bermakna “belahan atau rusak”. Dan kata munfathir berarti“sesuatu yang terbelah.”[11]

  



[1] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), Jakarta: GAYA MEDIA PRATAMA, 2005
[2] Ibid .hlm.34
[3] Ibid. hlm. 34-35
[4] Ibid.hlm 35
[5] Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, cetakan III (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2007), hlm. 68
[6] Ibid. hlm. 68
[7] Ibid. hlm. 69
[8] Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm. 76.
[9]Abdul Hamid Mursi, Pendekatan Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm.56
[10] Harun Nasutioan, Islam Rasional, (Jakarta: LSAF, 1989), hlm. 37.

[11] A.M. Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar, (Jakarta; Rajawali Press, 1996),hlm 42.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Matematika Pilihanku - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -