Posted by : Nur'aini Sabtu, 14 Oktober 2017



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
          Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran. Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Namun apabila melihat kenyataan, ketika sejarah kehidupan manusia generasi pertama keturunan Adam yakni Qabil dan Habil yang berselisih dan bertengkar dan berakhir dengan terbunuhnya sang adik yaitu Habil; maka apakah dapat dikatakan bahwa masyarakat generasi pertama anak manusia bukan masyarakat yang rukun? Apakah perselisihan dan pertengkaran yang terjadi saat ini adalah mencontoh nenek moyang kita itu? Atau perselisihan dan pertengkaran memang sudah sehakekat dengan kehidupan manusia sehingga dambaan terhadap “kerukunan” itu ada karena “ketidakrukunan” itupun sudah menjadi kodrat dalam masyarakat manusia?.
          Pertanyaan seperti tersebut di atas bukan menginginkan jawaban akan tetapi hanya untuk mengingatkan bahwa manusia itu senantiasa bergelut dengan tarikan yang berbeda arah, antara harapan dan kenyataan, antara cita-cita dan yang  tercipta.
          Manusia ditakdirkan Allah Sebagai makhluk social yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk social, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.
          Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka adapun rumusan masalah dalam makalah ini, adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui tafsir ayat-ayat tentang hubungan antar agama.
2.      Mengetahui asbabunnuzul ayat-ayat tentang hubungan antar agama.
3.        Apakah hubungannya dengan pendidikan?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui tafsir ayat-ayat tentang hubungan antar agama.
2.      Untuk mengetahui asbabunnuzul ayat-ayat tentang hubungan antar agama.
3.       Untuk mengetahui hubungannya ayat-ayat tersebut dengan pendidikan.











                                              BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
            Kerukunan dari sudut pandang etimologis berasal dari  bahasa arab yakni “RUKAUM” yang berarti asas atau dasar, yang dalam bentuk tunggal berarti tiang dan dalam bentuk jamak “ARKHAN” artinya tiang-tiang. Kerukunan adalah sikap saling mengakui, menghargai, toleransi yang tinggi antar umat beragama dalam masyarakat multikultural sehingga umat beragama dapat  hidup rukun, damai  & berdampingan.
            Rukun dalam arti adjektiva adalah baik atau damai. Definisi kerukunan hidup antar umat beragama  adalah keadaan hubungan sesama umat  beragama yang  dilandasi toleransi,saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 B. Q.S. Al-Mumtahanah 60:8-9
1. Ayat dan terjemahannya
Artinya:
            Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.
            Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
2. Asbabunnuzul
            Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8. Imam Bukhari meriwayatkan dari Asma binti Abu Bakar yang berkata,”Suatu hari, ibu saya mengunjungi saya. Ketika itu, ia terlihat dalam kondisi cenderung (kepada islam). Saya lalu bertanya kepada Rasulullah tentang apakah saya boleh menyambung silaturahmi dengannya? Nabi SAW lalu menjawab,’ya, boleh’. Berkenaan dengan kejadian inilah,Allah lalu menurunkan ayat tersebut.
3.Penafsiran Ayat
            Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa Dia tidak melarang orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong-menolong dan bantu-membantu dengan orang-orang kafir selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum muslimin, tidak mengusir dari negeri-negeri mereka dan tidak pula berteman akrab dengan orang-orang yang hendak mengusir itu. Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah SWT hanyalah melarang kaum muslimin bertolong-tolongan dengan orang-orang yang menghambat atau menghalangi manusia di jalan Allah, dan memurtadkan kaum muslimin sehingga ia berpindah kepada agama lain, yang memerangi, mengusir dan membantu pengusir kaum muslimin dari negeri mereka. Dengan orang yang semacam itu Allah melarang dengan sangat kaum muslimin berteman dengan mereka.  Pada akhir ayat ini Allah SWT mengancam kaum muslimin yang menjadikan musuh-musuh mereka sebagai teman bertolong-tolongan dengan mereka, jika mereka melanggar larangan Allah ini, maka mereka adalah orang-orang yang zalim.
C. Q.S.  Ali Imran 03:118
1. Ayat dan terjemahannya
Artinya:
            Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
2.Penafsiran Ayat
            Dalam ayat ini terkandung larangan keras untuk simpati dan memihak kepada orang-orang kafir, karena yang dimaksud bithonah dalam ayat tersebut adalah orang-orang dekat yang mengetahui berbagai hal yang bersifat rahasia. Bithonah diambil dari kata-kata bathnun yang merupakan kebalikan dari zhahir yang berarti yang nampak. Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bithonah adalah orang-orang yang sering menemui karena sudah akrab. Kata Ibnu Hajar, penjelasan tersebut merupakan pendapat Abu ‘Ubaidah (Fathul Bari, 13/202, lihat Jami’ Tafsir min Kutub al Ahadits, 1/396).
Tentang makna bithonah, Zamakhsyari mengatakan bahwa bithonah adalah orang kepercayaan dan orang pilihan, tempat untuk menceritakan hal-hal yang pribadi karena merasa percaya dengan orang tersebut 
            Ayat di atas juga menjadi dalil seorang musuh tidak boleh memberikan persaksian yang menyudutkan kepada orang yang menjadi musuhnya. Inilah pendapat para ulama’ terdahulu yang berdomisili di Madinah dan Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya) pada umumnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan hal tersebut sebagaimana dalam salah satu riwayat. Ibnu Bathal mengutip penyataan Ibnu Sya’ban, “Para ulama bersepakat bahwa musuh tidak boleh memberikan persaksian yang menyudutkannya kepada yang menjadi musuhnya dalam kasus apapun meski dia adalah seorang yang baik agamanya. Jadi permusuhan itu menghilangkan nilai kejujuran seseorang. Lalu bagaimana dengan permusuhan dengan orang kafir.” Pada akhir ayat Allah menegaskan bahwa rasa benci yang disembunyikan oleh orang-orang kafir itu jauh lebih besar lagi dibandingkan yang dinampakkan dengan mulut.







D. Q.S.  Al-Maidah 05:5
1. Ayat dan terjemahannya
Artinya :
            Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
2.Penafsiran Ayat
            "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik."Kemudian Allah menuturkan sembelihan Ahli Kitab, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani dengan firman-Nya, "Makanan orang-orang yang telah diberi kitab adalah halal bagimu." Ibnu Abbas dan ulama lainnya berkata, "Yakni ternak sembelihan mereka." Masalah ini disepakati oleh para ulama, yaitu bahwa sembelihan mereka adalah halal bagi kaum muslimin sebab mereka pun meyakini keharaman sembelihan yang diperuntukkan bagi selain Allah dan dalam melakukan penyembelihan mereka tidak menyebut kecuali nama Allah. Jika di dalam penyembelihan itu mereka meyakini kesucian dan ketinggian Allah dari perkara yang disucikan dari pada-Nya, maka Dia Mahatinggi dan Mahasuci. Dalam Shahih ditegaskan dari Abdullah bin Mughaffal, dia berkata, "Pada perstiwa Khaibar saya diberi sekantong lemak kemudian saya simpan dengan rapi. Saya berkata,'Sekarang, saya takakan memberikan sebagian dari lemak ini kepada siapa pun.'Kemudian saya berpaling dan ternyata Nabi SAW. tengah tersenyum." Hadits ini dijadikan dalil oleh para fuqaha bahwa dibolehkan mengambil makanan yang dibutuhkan dan semacamnya dari ghanimah yang belum dibagikan. Ini sudah jelas demikian hadits ini pun digunakan oleh mazhab Hanafi, Syafi'i, dan Hambali sebagai dalil untuk membantah mazhab Maliki yang menolak untuk memakan sembelihan yang diyakini keharamannya oleh kaum Yahudi, seperti lemak dan semacamnya yang diharamkan Allah kepada mereka. Keterangan yang lebih baik untuk dijadikan dalil daripada hadits di atas ialah keterangan yang ditegaskan dalam Shahih.
            Adapun hadits yang mengatakan, "Jangan-lah kamu berteman melainkan dengan orang mukmin dan janganlah kamu memberikan makananmu kecuali kepada orang yang bertakwa", ditafsirkan sebagai perbuatan sunnah dan anjuran. ‘’Wallahu a'lam.’’ Firman Allah Ta'ala, "dan dihalalkan bagimu wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari kalangan wanita mukmin", yakni dihalalkan bagimu menikahi wanita-wanita merdeka dan yang menjaga kehormatannya dari kalangan wanita yang beriman.( wanita-wanita yang mengikuti agama nabi Isa as dan kitabnya yaitu injil yang sesuai dengan syariat agama nashara (nashrani) yang diturunkan Allah SWT sebelum islam, yang tetap menyembah kepada Allah SWT, bukan agama nashrani (kristen)yang menuhankan nabi Isa as. dan membuat- buat kitab- kitab suci menurut versi mereka sendiri {mungkin bisa diartikan untuk saat ini sudah tidak ada wanita-wanita ahli kitab dari kalangan nashara seperti yang dimaksud ayat diatas} wallahua'lam bisshawab".
            Penuturan penggalan ini merupakan loncatan atas ayat sesudahnya yang berbunyi, "dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu", yakni wanita-wanita yang menjaga diri dan kesuciannya dari perbuatan zina, sebagaimana Allah berfirman, "Wanita-wanita yang bukan pelacur dan bukan yang menjadi gundik." Dahulu, orang-orang tidak mau kawin dengan wanita-wanita Ahli Kitab setelah diturunkan ayat yang terdapat dalam surat al-Baqarah yang berbunyi, "Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman", hingga diturunkan ayat, "dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu". Kemudian mereka menjadikan ayat ini sebagai pentakhshis terhadap surat Al-Baqarah, "dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik...."Firman Allah Ta'ala, "Jika kamu memberi mereka maharnya." Yakni, karena mereka memelihara diri dari perbuatan zina dan menjaga kehormatannya maka berikanlah kepada mereka maharnya dengan sukarela. Firman Allah Ta'ala, "Dan dengan maksud menjaga kehormatan, bukan pezina, dan menjadikannya gundik-gundik."Sebagaimana Allah mensyaratkan keterpeliharaan pada wanita, yaitu kesucian dari perbuatan zina, maka Allah pun mensyaratkan keterpeliharaan dan kesucian dari perzinaan kepada kaum laki-laki.
            Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman, "bukan sebagai pezina dan menjadikan gundik-gundik", yakni orang-orang yang memiliki kekasih dan hanya bergaul dengan mereka. Oleh karena itu, Imam Ahmad berpandangan bahwa tidak sah nikahnya wanita pelacur sebelum dia bertobat,demikian pula tidak sah akad nikahnya laki-laki pezina dengan wanita yang saleh hingga dia bertobat. Pendapat beliau itu didasarkan atas ayat di atas dan hadits yang berbunyi,"Pezina yang didera tidak boleh menikah kecuali dengan pezina lagi."Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hasan, dia berkata, "Umar bin Khaththab berkata,'Sungguh saya pernah berniat untuk tidak akan membiarkan sesorang yang berzina dalam Islam untuk kawin dengan wanita saleh.' Kemudian Ubay bin Ka'ab berkata kepadanya, 'Hai Amirul Mukminin, kemusyrikan itu lebih berat daripada berzina dan dapat diterima dalam Islam jika dia bertobat.'" Pembicaraan lebih jauh mengenai masalah ini akan dikemukakan dalam penafsiran ayat,"Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini melainkan perempuan yang berzina,atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak boleh mengawini kecuali laki-laki pezina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikianitu diharamkan atas orang-orang yang beriman". (an-Nur: 3) Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman, "Barangsiapa yang kafir setelah dia beriman, maka sesungguhnya hapuslah amalnya, sedang di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.”
E. Q.S. Al-Kafirun 109:1-6
1. Ayat dan terjemahannya
Artinya:
1.      Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,
2.      aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
3.      Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
4.      Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
5.      dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
6.      untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.
2. Asbabunnuzul
            Iman Ath-Thabrani dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang Quraisy mengiming-imingi Rasulullah dengan harta berlimpah sehingga menjadi orang terkaya di Mekah serta memberinya wanita mana saja yang beliau inginkan. Mereka berkata, “Semua ini untukmu wahai Muhammad, asalkan engkau berhenti menghina tuhan-tuhan kami dan berhenti mengucapkan kata-kata buruk terhadap mereka. Tetapi jika engkau keberatan, bagaimana apabila engkau menyembah tuhan kami selama satu tahun saja”. Mendengar tawaran orang-orang Quraisy itu, Rasulullah lalu menjawab, “Saya akan menunggu hingga Allah memberikan jawabannya”. Allah lalu menurunkan ayat, “Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai orang-orang kafir!.’”
3.Penafsiran Ayat
            Surah ini adalah surah pembebasan diri orang beriman dari perbuatan orang-orang musyrik dan surah yang memerintahkan orang beriman untuk membebaskan diri dari perbuatan orang-orang kafir.
(katakanlah, hai orang-orang kafir), itu mencakup seluruh orang-orang kafir Quraisy. Ada yang menyebutkan: karena kebodohan mereka untuk mengajak Rasulullah SAW untuk beribadah kepada berhala mereka selama setahun, sedangkan mereka Tuhan Muhammad SAW selama setahun pula, maka Allah SWT menurunkan surah ini. dalam surah ini, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk membebaskan diri dari agama mereka secara menyeluruh.
(Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah), yaitu berupa patungpatung dan berhala-berhala.
 (Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah). Maksudnya, yaitu Allah Yang Maha Esa, yang tidak memiliki sekutu. Kata maa (apa) disini man (siapa).
(Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah).Maksudnya, Nabi SAW tidak akan mengikuti sembahan mereka (orang kafir), melainkan akan tetap menyembah Allah dengan cara yang Allah cintai dan ridhai.
(Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah). Maksudnya, orang kafir tidak melaksanakan perintah Allah dan apapun yang telah Allah syari’atkan, yaitu dalam menyembah Allah.
Oleh sebab itu agama kita tidaklah dapat diperdamaikan atau dipersatukan: “Bagi kamu agama kamu, bagiku adalah agamaku pula.” Tinggilah dinding yang membatas, dalamlah jurang di antara kita.”Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang hak hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang.
 F.  Hubungannya dengan Pendidikan
Dari penafsiran ayat diatas, jika ditinjau dari aspek pendidikan, bahwasanya menganut suatu keyakinan terhadap adanya suatu kekuasaan yang tak terbatas yang mengusai segala sesuatu yang selanjutnya disebut sebagai perasaan naluri beragama merupakan fitrah setiap manusia yang merupakan bagian pertama yang harus menjadi komitmen manusia.
Dilihat dari ajaran dasarnya, bahwa setiap agama ternyata membawa ajaran kemanusiaan dan kedamaian yang dapat digunakan sebagai  dasar untuk membangun kerukunan diantara agama-agama tersebut. Penafsiran ayat-ayat hubungan antar agama memiliki nilai kependidikan yaitu manusia merupakan mahluk sosial yang memiliki naluri untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Mereka harus saling topang-menopang kecuali dalam pesoalan akidah demi mencapai kebahagian dan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat. 
Dalam rangka membangun kerukunan antarumat bergama ini, pendidikan akhlak dan nilai-nilai moral sangat penting ditanamkan kepada setiap orang. Meskipun berbeda agama, tetapi setiap manusia memiliki persamaan, yaitu mereka sama-sama keturunan Nabi Adam. Untuk itu, jika suatu ketika ada orang yang terkena musibah, maka harus segera dibantu, tanpa mempertanyakan agama yang dianutnya. Hal demikian dilakukan karena musibah yang terjadi bukanlah persoalan agama atau keyakinan, tetapi persoalan kemanusiaan.
Dalam Alquran, persoalan kemanusiaan ini termasuk hal yang diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian itulah, kerukunan beragama akan tercapai didalam kehidupan berbangsa dan bernegara.







BAB III
PENUTUP
 A.    Kesimpulan
1.      Hubungan antar agama membutuhkan sikap toleransi, namun bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
2.      Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya.
3.      Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing.
4.       Tentang orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar ummat beragama yang berpendapat bahwa semua agama sama  dan mereka semua akan memperoleh keselamatan, hal ini tidaklah dapat dibenarkan karena tidak ada persamaan dalam hal akidah.




                                                DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shgidiq, Muhammad Hasbi.2000.Tafsir Al-qur’an Nul Majid. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Musthafa,Ahmad.1993.Tafsir Al-maraghi.Semarang:Karya Toha Putra.
Abuddin Nata.2002. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada).
Ibnu Katsir.2007. Tafsir Juz ‘Amma. (Jakarta: Pustaka Azzam).
Jalaluddin As-Suyuthi.2008. Sebab Turunnya ayat Al-Qur’an. (Jakarta: Gema Insani).



           









           

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Matematika Pilihanku - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -