Posted by : Nur'aini Minggu, 15 Oktober 2017



“ LARANGAN MENIMBUN DAN MONOPOLI ”
Dosen pengampu: Dr. H. Subki, M.Pd.I











DISUSUN OLEH :

Nama                                     : RATNI JULIANI
NIM                            : 160.107.140
Semester/ Kelas       : II/TBI-D





TADRIS BAHASA INGGRIS
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  (UIN)
 MATARAM
2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik.Shalawat serta salam selalu kami limpahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya,atas jasa beliau kita bisa merasakan perubahan dunia dari yang gelap menjadi terang , dan masih bisa mengenyam pendidikan hingga saat ini.
Ucapan terima kasih saya berikan kepada Bapak subkiselaku dosen pengampu  yang telah membimbing ,teman-teman kelas TBi-D yang turut memberi motivasi, dan tak lupa kepada semua pihak yang tidak bisa  disebutkan satu per satu.
 Saya menyusun Makalah yang bertema LARANGAN MENIMBUN DAN MONOPOLI ini dengan tujuan supaya pembaca mengetahui bagaimana larangan menimbun dan monopoli tersebut, supaya kita sebagai makhluk Allah swt tidak semena-mena dalam memperjualkan suatu barang .
Di dunia ini tidak ada yang sempurna, oleh karena itu kami memohon maaf apabila dalam Makalah  ini terdapat kesalahan  yang tidak disengaja. Dan saya mengharap kritik dan saran dari pembaca, agar saya dapat menjadi lebih baik lagi dan makalah ini bisa lebih sempurna dan lebih bermanfaat bagi pendidikan kami khususnya dan pembaca umumnya.

Mataram,   Mei 2017


Penyusun







DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................       i
KATA PENGANTAR ....................................................................................      ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
    iii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................      1
A.    Latar Belakang .......................................................................................      1
B.     Rumusan Masalah ..................................................................................      1
C.     Tujuan Penulis ........................................................................................      1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................      2
A.    Larangan Menimbun dan Monopoli........................................................      2
B.     Larangan Terhadap Tengkulak................................................................      5
C.     Larangan Menimbun Barang Kebutuhan Pokok.....................................      7
BAB III PENUTUP .........................................................................................    10
A.    Kesimpulan ............................................................................................    10
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ditengah krisis ekonomi yang berkepanjangan yang menimpa negara Indonesia, khususnya umat Islam, banyak sekali orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan dengan jalan yang tidak halal, yaitu tidak sesuai dengan peraturan-peraturan dalam Islam. Misalnya saja, masalah penimbunan barang pokok telah banyak sekali terjadi karena ingin mempeoleh keutnngan yang lebih untuk pribadinya sendiri, sedangkan orang-orang yang berada di kalangan bawah menjadi rugi karenanya. Oleh karena itu, banyak sekali penguasa yang mengeruk keutnungannya dengan cara ihtikar (penimbunan) khususnya makanan pokok, jenis sekali ini sangat menguntungkan mereka karena dengan menimbun barang pokok tersebut. Mereka memaksa masyarakat untuk membeli dengan harga 2 kali lipat, karena barang yang ada di pasaran sudah habis dan para konsumen mau tidak mau harus membelinya dari mereka. Oleh karenanya, ihtikar sangat dilarang oleh agama Islam karena sangat merugikan orang-orang kecil dan hukumnya berdosa.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Larangan Menimbun dan Monopoli
2.      Bagaimana Larangan terhadap Tengkulak
3.      Bagaimana Larangan Menimbun Barang Kebutuhan pokok

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui Larangan menimbun dan monopoli
2.      Untuk mengetahui Larangan terhadap tengkulak
3.      Untuk mengetahui Larangan menimbun barang kebutuhan pokok




BAB II
PEMBAHASAN


A.    LARANGAN  MENIMBUN DAN MONOPOLI
Hadits :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَافِعِ بْنِ نَضْلَةَ الْعَدَوِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ مَرَّتَيْنِ
(Darimi - 2431) Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Khalid telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin Ibrahim dari Sa'id bin Al Musayyab dari Ma'mar bin Abdullah bin Nafi' bin Nadhlah Al 'Adawi, ia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 
 "Tidak menimbun kecuali ia akan berdosa."

Menimbun / memonopoli adalah tindakan  menyimpan harta, manfaat atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sedangkan masyarakat, Negara atau pun hewan memerlukan produk, manfaat atau jasa tersebut secara esensi definisi diatas sama , dan dapat difahami bahwa ikhtikar
(penimbunan).yaitu[1]:
1.      Membeli barang ketika harga mahal.
2.      Menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.
3.      Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik.
4.      Penimbun menjual barang yang di tahannya  ketika harga telah melonjak.
5.       Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.



Hukum Monopoli
Para ulama berbeda pendapat tentang hokum monopoli (ihtikar), dengan perincian sebagai berikut:
1.      Haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda Rasulullah saw :

 مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ 
 Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605)
Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria[2]:
a.  Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh.Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b.   Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
c.  Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasukmenimbun.
2.      Makruh secara mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ikhtikaradalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi umatnya.
3.      Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat lengkapnya,
Nabi SAW bersabda :

مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِي كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ
Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya,
"Kenapa engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605)

Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar (perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang dilarang adalah khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in [mulia] yang bernama Said bin
Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan saja).
4.      Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
5.      Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ مُجَازَفَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَ أَنْ يَبِيعُوهُ حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِـهِمْ
Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu." (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8).

B.     LARANGAN TERHADAP TENGKULAK

عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَلَقَّوْا اَلرُّكْبَانَ، وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ» قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: مَا قَوْلُهُ: «وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ»؟ قَالَ: لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا. ﴿مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ.

Terjemah : Dari Ţāwus dari tentang Ibnu ‘Abbas rađiyaLlāhu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian songsong (cegat) kafilah dagang (sebelum mereka sampai di pasar) dan janganlah orang kota menjual kepada orang desa”. Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas rađiyaLlāhu ‘anhuma: “Apa arti sabda Beliau; “dan janganlah orang kota menjual untuk orang desa”. Dia menjawab: “Janganlah seseorang jadi perantara (broker, calo) bagi orang kota”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 2013)
Penjelasan Hadits :
Masyarakat Arab banyak yang mata pencariannya sebagai pedagang. Mereka berdagang ke negeri-negeri tetangga. Ketika mereka kembali, mereka membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk Mekkah.Ada juga pedagang asing yang sengaja datang ke mekkah atau kota lainnya di arab untuk memperdagangkan barang-barang mereka kepada penduduk mekkah.Mereka datang bersama-sama dalam suatu rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk arab berebut untuk mendapatkan barang dagangannya,karena harga barang tersebut harganya murah dan mereka merupakan pedagang pertama.Akan
tetapi penduduk sering kali tidak mendapatkan barang secara langsung karena itu banyak tengkulak atau makelar mencegat rombongan tersebut di tengah jalan atau memborong barang yang dibawa oleh mereka.Mereka memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mendapatkan keuntungan besar dengan menjualnya kembali dengan harga yang sangat mahal. Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam.Dengan uraian diatas kita dapat simpulkan bahwa bahwa larangan terhadap tengkulak itu disebabkan karena sifat keegoisan dan kelicikan seorang makelar terhadap penjual pertama atas barang dagangan. Dengan keegoisannya dan kelicikannya seorang makelar membeli barang dagangan tersebut dengan harga murah dan menjualnya dengan harga mahal. Sehingga dapat menimbulkan harga barang dagangan mahal yang bisa meresahkan sebagian masyarakat[3].
Adapun perantara, perantara merupakan penafsiran dari Ibnu Abbas dari kata hadiru libad, yakni penduduk kota menjadi perantara bagi penduduk desa. Dengan kata lain, menjualkan barang dengan mengambil keuntungan atau bayaran. Namun apabila perantara tidak mengambil keuntungan atau bayaran, hal tersebut dibolehkan secara mutlak, bahkan orang tersebut telah melakukan kebaikan kepada penduduk. Adapun tujuan para tengkulak menjadi perantara adalah untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan membodohi penduduk desa yang tidak tahu harga sebenarnya dan menjual barang tersebutdengan harga yang sangat tinggi sesuai keinginan mereka. Tentu saja perbuatan tersebut dilarang oleh islam karena sangat memudaratkan. Tapi, Berbeda hukumnya bila perantara betul-betul berusaha menolong penduduk yang tidak dapat membeli langsung dari pasar atau dari para kafilah[4].
Barang-barang tersebut tidak akan sampai ketangan penduduk jika tidak melalui tengkulak(perantara).perantara seperti itu dibolehkan,bahkan ia menjadi penolong bagi orang-orang yang tidak mampu kekota untuk pergi membeli barang. Perantara seperti itu dibolehkan, bahkan sangat dianjurkan. Tetapi, harganya jangan sampai mencekik penduduk dan lebih baik lagi jika tidak mengambil keuntungan namun, mengambil keuntungan sedikit atau sekadarnya saja juga diperbolehkan dalam Islam. perantara seperti itu dikategorikan sebagai pedagang yang diperoleh dalam islam,bahkan kalau jujur dan bersih,mereka telah melakukan pekerjaan yang paling baik.

C.    LARANGAN MENIMBUN BARANG KEBUTUHAN POKOK
Hadits :
عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ». ﴿رَوَاهُ مُسْلِم﴾

Dari Ma’mar bin Abdullah rađiyaLlāhu ‘anhu tentang Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidaklah orang yang menimbun barang, melainkan ia berdosa karenanya.” (Şaĥīĥ Muslim ĥadīś no. 3013).
Menimbun yang diharamkan oleh Islam ialah, menumpuk kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, dan tidak menjualnya sambil menunggu sampai harga barang di pasaran menjadi naik. Dengan disekapnya kebutuhan-kebutuhan pokok itu, maka barang-barang tersebut hilang diperedaran, padahall rakyat sangat membutuhkannya[5]. Setelah situasi sudah sampai ketaraf ini, maka para penimbun dan tengkulak-tengkulak akan menjual barang-barangnya dengan harga tinggi. Tentu saja, akibat ulah mereka, maka beban yang harus dipikul oleh rakyat makin bertambah. Oleh karena itu, islam mengharamkan perbuatan ini, dan perdagangan semacam ini tidak dihalalkan menurut pandangan islam.
– Hadits Umara dari Nabi SAW
مَنْ احْتَكَرَعَلى لمُسْلِمِيْنَ طَعَامُهُمْ ضَرَبَهُ اللهُ بِل اجُذامِ وَالاِ فْلاَ سِ
Artinya:
“Siapa menimbun makanan kaum muslimin, niscaya Allah akan menimpakan penyakit dan kebangkrutan kepadanya.”
– Diriwayatkan Ibnu Majah dengan Sanad Hasan
اَجَالْ لِبُ مَرْزُوْقُ وَالمُحْتَكِرُمَلْعُوْنُ
“orang yang mendatangkan barang akan diberi rezeki dan orang yang menimbun akan dilaknat”
– Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW
مَنِ احْتَكَرَحُكْرَة ًيُرِيْدُأنْ يُغَالِيَ بِهَاعَلَى ا لمُسْلِمِيْنَ فَهُوَخَطِئَُ
Artinya:
“Barang siapa yang menimbun barang terhadap kaum muslimin agar harganya menjadi mahal, maka ia telah melakukan dosa.”

Akibat dari menimbun,keseimbangan pemerataan akan kacau dalam tubuh masyarakat, karena para tengkulak terus menyedot sebagian besar kekayaan
rakyat tanpa mengenal belas kasihan. Sebagai akibatnya maka harga barang-barang dipasaran mengalami kenaikan drastis, dan keadaan pasaran menjadi guncang karena tidak adanya stabilitas harga barang-barang. Yang menjadi korban utama adalah kaum fakir miskin. Mereka tak dapat meraih kebutuhan-kebutuhan pokoknya disebabkan kemampuan daya beli mereka yang terbatas. Hal ini tidak akan bisa terjadi, seandainya tidak ada para tengkulak yang memborong semua kebutuhan-kebutuhan pokok, dan mencegahnya dari peredaran[6].
Hadits Nabi SAW :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ سَالِمٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجَالِبُ مَرْزُوقٌ وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُونٌ
(Darimi - 2432) Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Yusuf dari Israil dari Ali bin Salim dari Ali bin Zaid bin Jud'an dari Sa'id bin Al Musayyab dari Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Semoga seorang Importir akan mendapatkan rizqi dan orang yang menimbun semoga dilaknat."




BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam.
2.      Menimbun atau memonopoli adalah tindakan membeli barang dalam jumlah yang banyak kemudian menyimpannya dengan tujuan untuk menjualnya kembali dengan harga tinggi kepada penduduk ketika mereka sangat membutuhkannya pada saat barang susah untuk ditemukan, sehingga penimbun mendapatkan keuntungan yang berlipat.
3.      Monopoli yang haram, yaitu monopoli pada makanan pokok masyarakat.
4.      Monopoli yang diperbolehkkan, yaitu pada suatu yang bukan kepentingan umum, seperti: minyak, lauk pauk, madu, pakaian, hewan ternak, pakan hewan.
5.      Penimbunan itu dilakukan pada saat manusia sangat membutuhkannya, mislanya makanan, pakaian, dan lain-lain. Dengan demikian. Penimbunan barang-barang yang tidak dibutuhkan oleh konsumen, hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan, karena tidak mengakibatkan kesulitan pada manusia.
Tetapi menurut pendapat fuqaha, dikalangan madzhab Hanafiyah, bahwa penimbunan barang dagangan hukumnya makruh  dengan pertimbangan apabila penimbunan tersebut diperbolehkan karena demi kemaslahatan umat.







DAFTAR PUSTAKA

Chuzaimah T.yanggo,HA.Hafiz Anshary. problematika hukum islam kontemporer. jakarta:LSIA:1997





 

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Matematika Pilihanku - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -